JAKARTA – Gonjang-ganjing kurang sedap sedang melanda kalangan internal seniman Indonesia belakangan ini. Hal itu dipicu oleh sebuah inform...
JAKARTA – Gonjang-ganjing kurang sedap sedang melanda kalangan internal seniman Indonesia belakangan ini. Hal itu dipicu oleh sebuah informasi dari salah satu sumber anonim yang menyebutkan bahwa telah terjadi konspirasi koruptif yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) di antara para pengelola industri musik tanah air.
Informasi bernada minus terhadap pihak tertentu yang dituding melakukan korupsi di kalangan praktisi seni musik itu menyebar luas di jaringan sosial WhatsApp group dengan judul 'Korupsi Masif dan Terstruktur Sepanjang Sejarah Industri Musik Indonesia'. Postingan seseorang yang tidak menyertakan identitas dirinya itu tak pelak telah menghebohkan dunia permusikan Indonesia.
Informasi yang dicap sebagai 'surat kaleng' ini secara tersurat diarahkan kepada para oknum pengurus PT. Lentera Abadi Solutama (PT LAS) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Tidak tanggung-tanggung, ada beberapa nama beken yang tersangkut dalam kasus tersebut, antara lain Anang Hermansyah, Irfan Aulia, Abdi Negara Nurdin, dan Adib Hidayat.
Berikut ini isi postingan tentang dugaan kuat terjadinya korupsi yang TSM di kalangan pelaku industri musik Indonesia yang menyebar di internal industri musik Indonesia yang dikirimkan kepada redaksi media ini, Sabtu, 22 Juli 2023. (Posingan telah diedit minor sesuai tata bahasa yang baik dan benar – red).
Seperti yang kita ketahui, dalam UU Hak Cipta No. 28/2014 Bab XII mengatur tentang Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dalam menarik, menghimpun, mendistribusikan royalti hak cipta dan terkait dalam musik yang digunakan untuk kepentingan komersil pada tempat umum. Bahwa sesuai UU, LMK dapat menggunakan maksimal 20% dari hasil yang terhimpun sebagai dana operasional. LMK sudah beroperasi sejak 2014 dengan masih terhambat kendala teknis maupun non teknis. Royalti yang terhimpun dalam LMK pun menjadi sumber pemasukan baru bagi para pencipta, penerbit musik, perusahaan rekaman dan pelaku pertunjukan. Sumber pemasukan yang sangat menjanjikan di masa mendatang.
Pada tahun 2021 terbitlah PP No. 56/2021 dan Permenkumham No. 20/2021. Di sini timbul pertanyaan-pertanyaan, mulai dari perancangan PP dan Permen ini yang dilakukan secara diam-diam, tergesa-gesa, dan tidak transparan kepada semua pelaku industri musik. Dan seakan menjadi 'Sertifikat' lahirnya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang sudah beroperasi namun tidak pernah disebut dalam UU Hak Cipta No. 28/2014. LMKN dan LMK ternyata mempunyai fungsi yang sama yaitu menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti lagu/musik.
Pada Permen No. 20/2021 Pasal 21 ditulis bahwa LMKN dapat mengutip 20% sebagai dana operasional. Untuk apa dua lembaga yang fungsinya sama mengutip total 40% dari hak pencipta, penerbit musik, perusahaan rekaman, dan pelaku pertunjukan, LMK 20 persen dan LMKN 20 persen?
Yang lebih anehnya lagi, dalam PP No. 56/2021 Pasal 20 tertulis bahwa LMKN dapat bekerja sama dengan pihak ketiga dalam pembangunan dan pengembangan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM). Pihak ketiga ini ditunjuk langsung tanpa melalui proses seleksi dan tatap muka, hebat! Bahkan pihak ketiga ini menjadi Pelaksana Harian LMKN. Jika menjadi 'Pelaksana Harian', sepertinya harus ada 'dana operasional' yang disalurkan dari LMKN kepada pihak ketiga ini. Mulai tercium bau amisnya?
LMKN disebut sebagai Lembaga Bantu Pemerintah Non APBN (nirlaba yang pasti). Sudah tentu jika ingin mengais keuntungan dari Lembaga Nirlaba, ya harus melakukan manuver. Informasi tambahan bahwa katanya ada investasi sebesar Rp. 400 milyar untuk pengembangan SILM. Uang dari manakah asalnya? Perlu sebesar itukah untuk membangun sistem? Sangat diragukan.
Siapakah Pihak Ketiga ini? Namanya PT. Lentera Abadi Solutama (LAS). Mari kita bedah siapa yang ada di dalam perusahaan ini. PT. LAS ini direktur utamanya Adib Hidayat. Orang ini pernah bekerja di beberapa media cetak dan online namun sedikitpun prestasinya belum terlihat. Malah sekarang menjabat juga di posisi penting dalam Melon, anak perusahaan PT. Telkom Indonesia.
Siapakah pemegang saham dari PT LAS ini? (Jawabannya) yaitu PT. Mata Airo Solusi sebesar 70% dan PT. Chakra Swarga Abadi sebesar 30%. Otomatis PT. Mata Airo Solusi adalah pemegang kendalinya. Siapa di balik PT. Mata Airo Solusi? Yaitu PT. Septa Daya Indotama sebesar 90% dan PT. Eka Sakti Sejahtera 10%. Siapa dibalik PT. Septa Daya Indotama? Yaitu PT. Sugih Reksa Indotama sebesar 50% dan PT. Tigadaya Semesta 50%. Yang menarik, direkturnya adalah Ganjar Ariel Santosa yang merupakan karyawan aktif PT. Massive Music Entertainment. Semakin tercium bau tidak sedapnya.
Mengapa harus membuat PT yang berlapis-lapis? Jika anda berbisnis dengan benar, mengapa tidak berani tampil? Sebagai informasi tambahan, total royalti yang terhimpun oleh LMKN bisa mencapai Rp. 12.000.000.000.000,- (Dua belas triliun rupiah) per tahunnya. Jika 'Dana Operasional' 20%, maka ada sekitar Rp. 2,4 triliun per tahun berpotensi menjadi keuntungan PT LAS. Fantastis!
Siapa di balik PT. Sugih Reksa Indotama? Tidak lain dan tidak bukan adalah Anang Hermansyah sebesar 40% sebagai Direktur Utama, Irfan Aulia sebesar 30% sebagai Direktur, dan Abdi Negara Nurdin sebesar 30% sebagai komisaris. Apa peran mereka? Anang Hermansyah, salah satu penggagas RUU Permusikan yang akhirnya digagalkan, karir musik sudah redup namun masih bergelimangan harta. Mungkin beliau yang mencarikan dana investasinya?
Abdi Negara, personil aktif Slank yang juga sekarang menjabat sebagai salah satu komisaris PT. Telkom Indonesia. Adib Hidayat juga diketahui bekerja di Telkom sekarang, hmm! Abdi dikenal sangat dekat dengan Istana. Apakah dia yang memuluskan jalan PP No. 56/2021 dan Permenkumham No. 20/2021?
Terakhir, Irfan Aulia yang masih aktif menjabat sebagai salah satu komisioner LMKN jelas sudah melanggar etika jabatan. PT. Massive Music Entertainment miliknya diakuisisi 51% oleh Trinity Optima Production yang juga masih dalam satu grup dengan Musica Studios, dimana direktur utamanya menjabat ketua umum ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia). Irfan pun masih menjadi anggota dewan aktif WAMI dan APMINDO. (WAMI - Wahana Musik Indonesia adalah sebuah Lembaga Manajemen Kolektif Indonesia yang bertugas mengelola penggunaan Karya Cipta lagu/musik milik anggotanya, terutama untuk royalti atas Hak Pengumuman. Sementara, APMINDO - Aliansi Penerbit Musik Indonesia adalah salah satu asosiasi penerbit musik Indonesia yang didirikan pada tanggal 14 November 1997). Apakah ini sebuah Konspirasi Masif dan Terstruktur oleh LMKN, LMK, APMINDO dan ASIRI? Atau hanya Anang, Irfan dan Abdi?
Bukankah kalian yang kaya akan pengetahuan dan akses seharusnya membantu pelaku industri musik lain yang masih berjuang, bukan malah ingin memperkaya diri sendiri dari karya orang lain?
Itulah isi kabar angin yang telah memicu perdebatan dan adu argumentasi serta saling tuding di antara para pelaku seni musik Indonesia saat ini. Kita menunggu klarifikasi dari pihak-pihak yang berkompeten tentang kasus tersebut. Hingga berita ini naik tayang, para pihak belum dapat dihubungi.
Asumsi lainnya yang berkembang adalah jika lembaga-lembaga yang disebutkan di atas, seperti LMK dan LMKN, merupakan amanat UU dan/atau Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, maka hampir dipastikan lembaga itu lahir bersama nomenklatur anggaran yang disediakan oleh APBN. Walaupun kepada publik disebutkan bahwa lembaga-lembaga ini merupakan Lembaga bantu pemerintah non APBN, namun sesuai fatsun tata negara yang berlaku umum, LMK dan LMKN dibentuk oleh negara harus dilengkapi perangkat fasilitas yang disediakan negara melalui APBN. Apakah kedua lembaga yang memiliki fungsi yang sama tersebut telah dilakukan audit oleh pihak berwenang? Kita tunggu perkembangannya. (TIM/Red)