Sayangnya, meskipun Pemerintahan Prabowo baru berdiri belum lama, berbagai kontroversi sudah mulai muncul yang melibatkan orang-orang di sekitarnya. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya moralitas dan sikap yang meragukan dari orang-orang terdekat Presiden.
Sebuah prinsip kuno mengingatkan kita, 'Lebih baik memiliki kebaikan moral ketimbang kecerdasan tanpa moral, karena apa gunanya kepintaran tanpa memberi manfaat kepada orang lain?'
Kita melihat kasus Agus Miftah yang terjebak karena candaan yang tidak tepat. Demikian pula dengan kelalaian Raffi Ahmad yang menggunakan patwal mobil RI 37 dengan sembrono.
Tambah lagi dengan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang terjerat dalam kasus perilaku arogan dan merendahkan martabat bawahannya.
Sekarang, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Santosa, membuat kesalahan fatal dengan merendahkan martabat rakyat yang tergabung dalam LSM dan dunia jurnalistik.
"Menteri Desa yang bersangkutan benar-benar kurang cakap. LSM dan wartawan adalah produk dari perjuangan rakyat dan keberadaan mereka dijamin oleh konstitusi dan hukum. Sikap meremehkan kedua elemen penting bagi bangsa ini menunjukkan pemikiran yang tak masuk akal, bodoh, dan bisa jadi melanggar hukum," tegas Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, kepada media-media nasional pada Minggu, 2 Februari 2025, ketika dimintai tanggapannya terkait pernyataan Menteri Yandri Santosa.
Meskipun demikian, mantan peserta PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini mengakui bahwa perlakuan kasar terhadap wartawan bukanlah hal baru yang dilakukan oleh Menteri Desa tersebut.
Sebelumnya, tidak jarang profesi jurnalis, sebagai salah satu pilar demokrasi, mendapat perlakuan tidak adil dari pejabat dan aparat.
"Keberadaan dewan pers yang bersikap diskriminatif terhadap wartawan adalah kesalahan besar. Para pejabat cenderung menggunakan sebutan-sebutan merendahkan seperti wartawan tidak berkualitas, wartawan abal-abal, atau wartawan yang tak kompeten untuk menghambat kontrol sosial wartawan (beserta LSM) terhadap kinerja birokrasi, terutama mereka yang mengelola anggaran. Hal ini bertujuan untuk menyembunyikan tindakan korupsi yang marak terjadi di lingkungan pemerintah," jelas Wilson Lalengke.
Menghambat upaya wartawan dalam menjalankan tugasnya, apa pun alasannya, adalah pelanggaran hukum sesuai Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Ancaman hukuman meliputi penjara 2 tahun dan denda 500 juta rupiah.
Menurut Wilson Lalengke, tindakan pelanggaran hukum oleh seorang menteri adalah hal yang memalukan dan harus ditindaklanjuti dengan tegas. "Uang rakyat tidak boleh digunakan untuk mendukung pejabat yang tidak kompeten seperti Yandri yang tidak memiliki pemahaman yang benar," ujarnya mempertanyakan pernyataan tidak pantas sang Menteri.
Oleh karena itu, tokoh pers nasional ini menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto segera mengganti Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal tersebut. Jika tidak segera diambil tindakan, keberadaan menteri yang tak cakap seperti itu hanya akan menjadi beban dalam roda pemerintahan Prabowo yang salah satunya bertujuan memberantas korupsi di semua sektor pemerintahan.
Wilson Lalengke juga menyoroti perlunya pembenahan dalam lembaga yang mengawasi profesi wartawan, seperti Dewan Pers. Jika perlu, langkah drastis untuk menyingkirkan lembaga tersebut harus dipertimbangkan.
"Kita harus bersikeras untuk menutup Dewan Pers yang tidak berdaya, karena mereka tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam pembangunan bangsa. Bahkan, lembaga semacam itu menjadi penghalang bagi demokrasi yang inklusif dan pemberdayaan seluruh rakyat Indonesia yang membayar PPN sebesar 11-12 persen. Negara demokratis tidak seharusnya memiliki lembaga seperti dewan pers itu," ucapnya seraya menambahkan bahwa di era digital ini, setiap warga negara dapat dianggap sebagai jurnalis, sesuai dengan jaminan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. (APL/Red)
Terima kasih telah berkunjung ke PPWInews.com. Silahkan berkomentar dengan sopan. Terimakasih.