Merujuk kepada sejarah pembentukan lembaga Dewan Pers yang baru tahun 1999 pasca dibubarkannya Dewan Pers jaman Orde Baru, pengurus Dew...
Merujuk kepada sejarah pembentukan lembaga Dewan Pers yang baru tahun 1999 pasca dibubarkannya Dewan Pers jaman Orde Baru, pengurus Dewan Pers produk Orde Reformasi dibentuk oleh lebih dari 40 organisasi pers yang di penghujung dekade 90-an sedang tumbuh subur bak jamur di musim hujan.
Sebut saja antara lain dari organisasi pers yang melahirkan Dewan Pers versi Orde Reformasi adalah Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI), PWI Reformasi, Komite Wartawan Indonesia (KWI), dan Himpunan Wartawan Muslim Indonesia (Hiwami). Berdasarkan catatan Dewan Pers edisi 2006, ada 27 organisasi pers yang ikut dalam pertemuan khusus di tahun tersebut terkait usaha penguatan fungsi lembaga Dewan Pers. Saat ini, pengurus Dewan Pers hanya mengakui tiga organisasi pers, yakni PWI, AJI, dan IJTI.
Dari perspektif sejarah juga, Dewan Pers berganti-ganti dari orde sebelumnya kepada orde reformasi, atau sebelumnya lagi, dari versi Orde Lama ke versi Orde Baru, semua berangkat dari visi besar menghadirkan pemberitaan yang baik, benar, dan faktual. Namun yang terjadi justru sebaliknya, produk jurnalistik yang dihasilkan dan disuguhkan kepada masyarakat dari waktu ke waktu, dari orde ke orde, merupakan hasil kompromi antar para pemangku kepentingan, terutama dari kalangan elit media, dunia usaha, dan pemerintah. Penyajian pemberitaan terlihat baik-baik saja, mengikuti patron jurnalisme standar, namun kebenaran dan faktualitas informasinya ibarat pepatah 'jauh panggang dari api'.
Disparitas yang cukup lebar antara pemberitaan di media-media dan fakta lapangan, yang saat ini lebih populer dengan istilah hoax alias berita bohong, dapat muncul oleh berbagai sebab dan motivasi. Bisa bertujuan buruk, bisa juga baik. Hoax kerap dilakukan dengan alasan 'demi kebaikan', 'demi kebahagiaan', dan/atau demi keselamatan bersama (Jeremy Bentham, 1748-1832). Pada sisi lain, fakta lapangan menunjukkan bahwa hoax justru menjadi pemicu kehancuran peradaban manusia.
Pelaku dan penyebar hoax dapat berasal dari kalangan apa saja. Kelompok bisnismen dan pedagang dianggap sebagian masyarakat sebagai pembuat hoax terpopuler. Alasannya, proses negosiasi bisnis memerlukan berbagai strategi marketing yang selalu dipenuhi bumbu hoax untuk mencapai tujuan. Rocky Gerung menyatakan bahwa produsen hoax terbaik adalah pemerintah. Dalam kehidupan keluarga, hoax seakan menjadi makanan selingan di antara anggota keluarga.
Terkait dengan hoax yang beredar menggunakan sistim jurnalisme, yang melibatkan unsur media massa sebagai alat penyebarannya, peran sebuah lembaga semacam Dewan Pers (Pers Council) menjadi penting dan strategis. Tentu saja, kita tidak mungkin mengharapkan lembaga ini dapat menghapus hoax hingga ke titik nol. Namun, eksistensi lembaga semacam itu diperlukan, di sebuah negara yang paling demokratis sekalipun. Setidaknya, press council dapat difungsikan sebagai mercu suar, untuk tidak menggunakan idiom 'anjing penjaga', bagi masyarakat dalam menjalankan peran sosialnya sebagai produsen dan penyebar informasi.
Hoax berkembang sangat cepat pada dua-tiga dekade belakangan, seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Dampak hoax juga semakin kompleks, rumit, dan masif. Kondisi ini akan semakin 'mengerikan' di masa-masa mendatang.
Satu hal mendasar yang wajib dilakukan oleh setiap elemen bangsa adalah melakukan revolusi paradigma publik tentang kejujuran. Selama ini, setiap orang hanya berhenti kepada tuntutan agar orang-orang berkata jujur terhadap dia, namun sedikit sekali di antara kita yang berupaya berlaku dan berkata jujur kepada orang lain. Selama sifat jujur belum menjadi karakter sebuah bangsa, maka selama itu pula hoax akan menjadi santapan harian bagi setiap warga masyarakat di bangsa ini.
Sebagai sebuah lembaga 'mercusuar'nya dunia pers, Dewan Pers kiranya dapat menjalankan fungsinya sebagai guru kejujuran bagi setiap orang, terutama pekerja pers di negeri ini. Freedom of the Press selayaknya dimaknai sebagai kemerdekaan memberitakan informasi yang jujur (Immanuel Kant, 1724-1804), bukan kebebasan menyuarakan segalanya sesuka hati dan/atau sesuai kepentingan tertentu, walaupun disertai embel-embel demi kebaikan, keselamatan bersama, dan berbagai alasan 'suci' lainnya.(Rel)
Penulis: Ketua Umum PPWI dan Dewan Pembina KabarXXI.Com